Selalu saja ada celah dalam hukum
(fiqh) yang menjadi ruang bagi ‘kreativitas’ dan akal bulus kaum
pencinta kemudahan. Bukan karena Sang Pencipta hukum itu lemah atau
lalai, sehingga menyisakan celah-celah kecil tempat bersemainya bibit
kemunafikan itu, namun inilah mihnah, ujian keimanan. Dari milestone
inilah kemudian manusia terbagi menjadi tiga golongan;
- penganiaya diri sendiri (dzhalimun linafsihi),
- kelompok antara (muqtashid),
- para penghulu kebaikan (sabiqun bil khairaat).
Kelompok pertama adalah para pemuja
hawa nafsu. Hatinya tak setitik jua mengandung noktah ketaatan,
logikanya adalah logika pembangkangan, strateginya adalah keculasan.
Maka aturan langit pun menjadi sesuatu yang dianggap profan sehingga
dengan mudahnya diputarbalikkan. Lihatlah para budak syahwat ini
berdalil dengan fasihnya bahwa menutup aurat adalah setakat budaya,
bahwa tak mengapa berzina asal menggunakan kondom hingga tak bersentuhan
kulit khatan, atau soal halalnya alkohol di suasana chilly. Mereka juga
yang berargumen betapa mengharamkan rokok adalah gerbang kehancuran
ekonomi bangsa. Lupakah mereka bahwa kerugian bangsa ini oleh erosi
kesehatan yang diakibatkan benda haram sembilan senti itu bisa berpuluh
kali lipat nominalnya? Orang-orang ini, entah dari persilangan genetik
yang mana, telah mewarisi darah Yahudi yang dahulu mencoba mengakali
Allah tentang larangan hari Sabat, dengan memasang jaring keramba di
hari Jum’at. Inilah kelompok penganiaya diri, menukarkan kesenangan
sesaat dengan siksaan yang abadi.
Kelompok kedua adalah generasi serba
tanggung, shalih tidak, thalih juga tidak. Sesekali mereka berbuat dosa
dan menabrak aturan, sesaat kemudian tertegun, lalu menangis menyesali
perbuatannya. Inilah tipologi kaum lemah iman, yang memadu pahala dan
dosa dalam satu rongga dada. Seusai shalat shubuh mereka menonton
tayangan ghibah, mereka berjilbab tapi ikhtilath, berjanggut namun
genit, lantang bertakbir namun fasih pula berlama-lama dalam interaksi
tak penting dengan lawan jenis yang ajnabi.Sungguh tersiksa batin yang
hidup dalam kondisi demikian. Jiwa yang terus menerus dalam penyesalan
(nafsu allawwaamah), terjebak antara perasaan hina dan keinginan menjadi
mulia. Pribadi-pribadi seperti ini senantiasa terkungkung dan
terpenjara dalam dimensi dirinya sendiri. Tak usahlah diajak berpikir
dan bercita-cita besar, toh mereka masih belum selesai berurusan dengan
aneka persoalan remeh-temeh; virus merah jambu, jiwa pedantic (hubbu
azhzhuhur) yang selalu ingin menonjolkan diri, dan berbagai perangai
lainnya yang merefleksikan kekanak-kanakan jiwa.
Kelompok terakhir adalah mereka yang
selalu berlomba dalam kebaikan. Mereka tak lagi berfikir sebatas
halal-haram. Bagi kaum ini, segala sesuatu dinilai dengan kelembutan
hati dan kepekaan iman. Mereka terbang dalam ketinggian akhlaq, jauh
melewati batas-batas hukum, beyond fiqh. Yang haram pastilah mereka
benci, perkara syubhat dijauhi, bahkan terhadap yang halal pun mereka
berzuhud. Suatu ketika Umar ibn Khatthab ra membagi-bagikan ghanimah
atas kemenangan melawan Persia. Umar tertarik pada sebuah karpet yang
sungguh indah. Betapa wajar dan sederhananya potret keinginan itu;
seorang khalifah agung berkehendak untuk memiliki sepotong permadani.
Tak satu pun sahabat yang tidak setuju, selain bahwa bagian dari
ghanimah juga merupakan hak beliau, Umar juga dipandang sebagai zahid
yang terlalu keras terhadap dirinya sendiri. Namun seketika Al-Faruq
tersentak. Pria yang ditakuti para setan ini merasa malu untuk memiliki
ketertarikan semu pada dunia. Ia memang bukan al-ma’shum layaknya
Rasulullah SAW, tapi tarbiyah Sang Nabi telah melekat erat di
sanubarinya. Lalu ia memotong karpet itu menjadi bagian-bagian kecil dan
membagi-baginya kepada para sahabat (Husain Haykal, Umar al-Faruq).
Permadani Persia itu sudah tak utuh lagi, begitu juga keinginan Umar
untuk memilikinya juga telah teratasi. Kini Umar tak lagi merasa malu
pada Allah, pada Rasul dan pada dirinya sendiri. Ya, bagi jiwa pendamba
surga, rasa malu memang menjadi hiasan diri. Sebab sabda Sang Nabi SAW;
“Sesungguhnya di antara yang didapat manusia dari kalimat pertama
kenabian adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu” (HR
Bukhari, lihat dalam Ibn Daqieqil ‘Ied, Syarhul Arba’iina Hadiitsan
An-Nawawiyah).
Bagaimana…?
Tiga golongan itu saya yakini
kebenarannya. Salah satu upaya, untuk dapat menghisab diri sebelum
dihisab nanti. Dengan kejujuran hati untuk bisa mengakui, ada di
golongan mana kita sekarang.
Tapi ada beberapa hal lain yang
menggugah hati saya… Pertama, seusianya, saya belum mempunyai keinginan
untuk menghisab diri dengan kedalaman seperti itu. Kedua, melalui
tulisannya dia sanggup menyuarakan apa yang ada di benaknya dengan cukup
berani. Ketiga, harapan saya… tulisan itu dilandasi motivasi untuk
‘fastabiqunal khairaat’… berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan untuk
menjustifikasi secara personal. Keempat, semoga ketika ditanyakan kepada
dirinya… di golongan manakah dia berada? Dia bisa menjawabannya…
Karena pada dasarnya, kita semua
mempunyai fitrah untuk berbuat kebaikan, ingin memberikan yang terbaik,
sebagai bentuk eksistensi kita di dunia ini, untuk kemudian kita
serahkan penilaian terakhirnya di kekuasaan Sang Pencipta.
Tidak semua orang menyukai dakwah dengan
argumentasi yang cukup keras. Tapi hampir semua orang menyukai dakwah
yang menenangkan, dengan bahasa kelembutan… Tanpa ada kesan merasa
paling suci, tapi mengajak… untuk bersama-sama… menggapai cinta Illahi,
dalam balutan keindahan bahasa…
sumber : http://new.drisalah.com
sumber : http://new.drisalah.com
0 komentar:
Posting Komentar